saraahmegha.com

Sadar dengan Kesehatan Mental

Posting Komentar

 


Kesehatan mental, menjadi topik yang lezat di beberapa waktu belakangan.  Dalam satu tahun, ada sekitar enam naskah dengan tema self love yang kudandani. Tak hanya itu, ada pula beberapa tema menulis bersama yang mengusung tema yang serupa.

Tepat satu pekan lalu, aku dihubungi seorang teman baru yang berprofesi sebagai psikolog untuk meminta tolong mendandani naskahnya yang ternyata bertema self love juga. Agak sedikit basa-basi aku berceloteh tentang banyaknya buku untuk tema ini. Kemudian temanku berkata,
"Iya mbak, karena alhamdulillah kita memang sedang berupaya agar masyarakat kita paham tentang kesehatan mental, di kita masih terbilang tabu lho mbak, jadi kalau ada yang merasa depresi ya dibiarkan saja, padahal kalau berlarut-larut dan tidak mendapat penanganan tenaga ahli bisa berbahaya."

Aku bersungut-sungut setuju di depan gawai. Benar memang, sebagian dari kita untuk issue kesehatan mental masih dianggap tabu dan diremehkan.

Terbilang sebelum aku memutuskan masuk jurusan IPA di bangku SMU, aku memiliki ketertarikan dengan ilmu psikologi, meski belum mengerucut ke kesehatan mental lebih ke ilmu "bagaimana memahami kondisi psikis seseorang". Namun pada kenyataanya, keinginan untuk fokus mencari ilmu harus kuendapkan, karena di masaku masuk ke jurusan IPA dan kuliah di jurusan Teknik menjadi hal yang membanggakan bagi orang tuaku.

Namun, seiring perjalanan waktu. Aku mulai tertarik kembali dengan kesehatan mental. Terlebih saat aku mengalami trauma kehilangan ayah, berproses menjadi seorang istri, bahkan saat aku memiliki anak pertama.

Peristiwa kehilangan sosok Ayah membuat mentalku di tahap anjlok, bahkan dahulu sampai ditahap linglung dan merusak diri, saat itu aku nyaris hampir kehilangan beasiswaku dan membayar pinalti. Namun syukur alhamdulillah, support luar biasa dari Ibuku (yang padahal lebih terpuruk dariku), dan sahabat-sahabatku mampu membuatku melalui gelombang hebat ini. Bagaimana kondisi sekarang? Meski sudah berlalu sebelas tahun lalu, sampah emosi kala itu masih ada sampai sekarang. Bisa jadi itu menjadi alasanku untuk memeriksakan diri ke psikolog.

Kemudian ketika berproses menjadi seorang istri, sampah trauma masa laly juga masih mengendap. Sesekali memuntahkan yang dirasa, perubahan mood yang sangat drastis juga kurasakan. Lalu puncaknya saat melahirkan anak pertama dan aku harus LDM dengan suami. Sangat traumatis.

Menggebu ingin memeriksakan kesehatan mentalku, namun lagi-lagi urung niat karena masalah mental ini masih dianggap sesuatu yang tabu.

Seiring berjalannya waktu, aku menjadi gemar membaca artikel atau buku yang berkaitan dengan kesehatan mental. Sederhana, supaya aku bisa sedikit menangani jikalau "rasa tak nyaman" itu naik ke permukaan. Sakit mental itu sungguh ada namun jangan langsung menjurus ke gila. Menyadari dan peka terhadap diri sendiri saat hati dan jiwa sedang tidak baik-baik saja itu lebih baik dari pada harus berpura-pura atau menganggap bahwa diri baik-baik saja meski mental sudah digerogoti, lalu berujung dengan kata terlambat. Naudzubillah min dzalik.

Semoga Allah menjaga diri kita baik secara fisik, mental dan iman dan terhindar dari panasnya api neraka.

Lebih baru Terlama

Related Posts

Posting Komentar